Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Siapa Sesungguhnya Nahkoda Muhammadiyah ?


Di banyak daerah, wajah Muhammadiyah justru lebih sering dipersonifikasikan lewat para pimpinan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dibanding ketua persyarikatan. Kepala sekolah, direktur rumah sakit, bahkan rektor perguruan tinggi Muhammadiyah lebih populer, lebih dikenal masyarakat luas, dibanding sang ketua organisasi yang sejatinya menjadi komando ideologi.


Fenomena ini menimbulkan ironi. Muhammadiyah yang dilahirkan KH Ahmad Dahlan sebagai gerakan dakwah, tajdid, dan pembaruan sosial, seolah-olah “dikuasai” oleh AUM yang berwujud fisik: sekolah, universitas, rumah sakit, dan lembaga ekonomi. Padahal persyarikatan adalah induk, ruh, sekaligus arah kompas perjuangan.


Kepala AUM mendapat sorotan publik karena memegang langsung urusan layanan: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Mereka tampil sebagai “wajah Muhammadiyah” yang dilihat masyarakat setiap hari. Sementara ketua persyarikatan, dengan segala keprihatinan, sering tersembunyi dalam rapat, forum resmi, atau papan nama.


“Kalau rektornya Muhammadiyah semua orang tahu. Tapi siapa ketua PDM atau PCM? Masyarakat sering tak tahu,” begitu celoteh getir di akar rumput.


Pertanyaan pun menukik tajam ke langit: apakah Muhammadiyah masih setia menjadikan persyarikatan sebagai nahkoda, atau justru AUM yang kian menjelma kapal raksasa tanpa kendali ideologis? Apakah ketua persyarikatan akan terus tenggelam di balik panggung, sementara kepala AUM disorot bak bintang utama?


Sejarah menuntut jawaban. Bila AUM hanya menjadi mercusuar ekonomi tanpa ruh dakwah, Muhammadiyah akan kehilangan jantungnya. Tapi bila persyarikatan berani menegakkan ideologi dan tampil sebagai komando, maka AUM akan tetap menjadi alat perjuangan, bukan tujuan.


Fenomena getir kini melanda Muhammadiyah: di mata publik, yang lebih bersinar bukan ketua persyarikatan, melainkan kepala Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Direktur rumah sakit, kepala sekolah, rektor universitas—mereka dielu-elukan, disorot kamera, ditunggu kebijakannya. Sementara ketua persyarikatan? Nama pun kerap tak dikenal jamaahnya sendiri.


Inilah ironi yang menampar wajah persyarikatan. Muhammadiyah tampak seperti kapal besar, tapi sang nahkoda justru tak kelihatan. Yang tampak di geladak adalah nakhoda-nakhoda AUM, sibuk menyalakan lampu sorot, menarik tepuk tangan publik.


“Siapa ketua PCM di kecamatan ini?” tanyakan kepada warga Muhammadiyah, banyak yang terdiam. Tapi kalau ditanya siapa direktur RS Muhammadiyah, siapa kepala sekolah favorit, jawabannya deras mengalir. Popularitas kepala AUM kini menjulang, bahkan sampai menutup bayangan ketua persyarikatan.


Fenomena ini berbahaya. Bila tak dikoreksi, Muhammadiyah bisa berubah menjadi konglomerasi lembaga: sekolah yang megah, rumah sakit yang sibuk, universitas yang menjulang—tetapi kehilangan ruh ideologi, kehilangan denyut dakwah. Persyarikatan yang seharusnya menjadi poros, justru tersisih jadi ornamen rapat dan seremoni.


Apakah Muhammadiyah kini sedang “digerakkan” oleh kepala AUM, bukan oleh ketua persyarikatan? Apakah suara ideologi akan tunduk pada kalkulasi bisnis dan administrasi? Pertanyaan ini menukik bagaikan jarum menembus langit, menusuk inti kesadaran kita semua.


Sejarah KH Ahmad Dahlan mengajarkan: AUM adalah alat perjuangan, bukan panggung pencitraan. Jika alat berubah jadi tujuan, maka Muhammadiyah akan kehilangan arah, persyarikatan menjadi bayang-bayang, dan kepala AUM berdiri bak raja tanpa mahkota.


Medkom PDM Brebes

Post a Comment

0 Comments