Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Menghilangnya peran Pemimpin

 


Muhammadiyah lahir sebagai gerakan tajdid, gerakan yang menegakkan kebenaran dengan keberanian, disiplin, dan keteguhan. Tapi hari ini, marwah itu semakin pudar. Kepemimpinan Persyarikatan yang seharusnya menjadi mercusuar, justru meredup, kehilangan cahaya, bahkan tak lagi mampu mengendalikan jalannya roda organisasi.


Kini, siapa sebenarnya yang memimpin Muhammadiyah?

Apakah Pimpinan yang terpilih melalui musyawarah? Atau individu-individu yang lihai mengatur opini, kuat modal, dan lihai memainkan jaringan? Fakta di lapangan begitu telanjang: suara Pimpinan sering kali kalah keras dibanding manuver kelompok di luar struktur resmi.


Inilah ironi terbesar: Muhammadiyah seolah menjadi rumah besar yang kehilangan tuan. Pintu terbuka lebar, siapa saja bisa masuk, mengatur kursi, bahkan menentukan arah rumah tangga. Sementara pemilik sah rumah itu hanya jadi penonton, diam membisu, seakan pasrah dengan keadaan.


Mengapa ini terjadi?

Karena kepemimpinan kehilangan keberanian. Lebih suka mencari aman daripada menegakkan aturan. Lebih nyaman kompromi daripada berkonfrontasi demi kebenaran. Akibatnya, marwah pimpinan runtuh, tinggal nama tanpa wibawa.


Karena warga Persyarikatan permisif. Lebih senang sibuk dengan urusan pribadi daripada menjaga kehormatan organisasi. Diam demi kenyamanan, padahal diam itu berarti membiarkan luka semakin bernanah.


Karena ada pihak-pihak yang memang haus kuasa, menjadikan Muhammadiyah bukan lagi sebagai gerakan dakwah, melainkan lahan pengaruh. Mereka tumbuh subur justru karena kepemimpinan formal tak mampu menertibkan.


Kalau begini, ke mana arah Muhammadiyah?

Apakah akan tetap jadi organisasi yang disegani, atau tinggal nama besar yang rapuh dari dalam?


Hari ini, kepemimpinan Muhammadiyah perlu bercermin. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa Persyarikatan kehilangan marwah bukan karena musuh di luar, tetapi karena para pemimpinnya sendiri yang memilih diam, takut, dan tak berani berdiri tegak.


Muhammadiyah butuh pemimpin yang berani menegakkan disiplin, mengembalikan arah pada Khittah, dan menegaskan: Persyarikatan ini milik umat, bukan milik segelintir orang yang merasa lebih besar dari Muhammadiyah itu sendiri.


Jika tidak, luka ini akan semakin parah, bernanah, dan bisa membusukkan tubuh organisasi.


Medkom PDM Brebes

Post a Comment

0 Comments