Baru-baru ini muncul pernyataan dari salah satu tokoh yang mengatasnamakan PP Muhammadiyah yang menyatakan bahwa tahlilan diperbolehkan dalam lingkungan Muhammadiyah. Pernyataan ini menimbulkan kebingungan di kalangan warga Muhammadiyah dan masyarakat luas, mengingat selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan yang menolak praktik tahlilan sebagai bentuk ibadah berjamaah yang tidak berdasar dalil yang sahih. Maka dari itu, penting untuk merujuk kembali pada Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah dan dalil syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah guna meluruskan pandangan.
Apa itu Tahlilan?
Tahlilan umumnya merujuk pada kegiatan ritual membaca dzikir tertentu seperti tahlil, tasbih, tahmid, dan surat-surat pendek yang dilakukan secara berjamaah, biasanya pada malam ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan tahunan setelah kematian seseorang. Praktik ini kerap kali dibingkai sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum dan memperingati hari kematian.
Sikap Resmi Muhammadiyah (HPT) terhadap Tahlilan
Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, khususnya yang dibahas dalam Bab "Amalan-Amalan yang Tidak Berdasar Syariat", disebutkan bahwa:
"Tidak ada nash yang sahih dari Rasulullah saw. dan para sahabatnya mengenai pengkhususan ibadah tahlilan pada hari-hari tertentu setelah kematian. Maka amalan tersebut tidak termasuk dalam ajaran Islam yang ma’ruf."
— HPT, Bab Ibadah, Penerbit Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah tidak menolak dzikir atau membaca tahlil (lā ilāha illallāh), tetapi yang ditolak adalah pengkhususan waktu, bentuk ritual berjamaah, dan anggapan adanya pahala yang otomatis mengalir kepada mayit dengan cara itu, tanpa dasar syar’i yang kuat.
Dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah
1. Prinsip Ibadah dalam Islam
Ibadah dalam Islam harus memiliki landasan dari dalil (tawqīfiyyah), sesuai dengan firman Allah:
"Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?"
(QS. Asy-Syura: 21)
Tahlilan dalam bentuk ritual tertentu yang diatur waktunya tidak ditemukan dalam praktik Rasulullah ﷺ, para sahabat, atau generasi tabi’in. Maka, menambah bentuk ibadah tanpa dasar dianggap bid’ah dalam Islam.
2. Hadis tentang Bid’ah
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Tahlilan dalam bentuk ritual tertentu bukan berasal dari Rasulullah ﷺ, sehingga menurut kaidah ini tidak bisa dianggap sebagai ibadah yang disyariatkan.
Toleransi Tidak Berarti Membenarkan
Muhammadiyah bisa menghormati perbedaan pendapat dalam ranah sosial dan budaya, tetapi tidak serta merta menjadikan itu sebagai pembenaran bahwa suatu praktik keagamaan dapat diklaim sebagai bagian dari ajaran Islam.
Bahkan KH. Ahmad Dahlan sendiri sangat menekankan pentingnya purifikasi ajaran Islam dari praktik-praktik yang tidak berdasar Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini juga menjadi bagian dari ajaran Tajdid Muhammadiyah yang mengembalikan Islam kepada kemurnian sumbernya.
Kesimpulan
Pernyataan bahwa tahlilan diperbolehkan dalam Muhammadiyah tidak memiliki dasar dalam Himpunan Putusan Tarjih dan dalil syar’i. Muhammadiyah tetap konsisten dalam menolak praktik ibadah yang tidak berdasarkan dalil yang sahih. Warga Muhammadiyah diimbau untuk merujuk langsung pada keputusan Tarjih, bukan pada pendapat pribadi meskipun disampaikan oleh tokoh sekalipun.
Menghormati mayit bisa dilakukan dengan doa pribadi, sedekah atas nama almarhum, dan terus berbuat amal saleh yang diniatkan untuk mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)
(Tim Media MPI PDM Kabupaten Brebes )
0 Comments